Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
NasionalTNI - POLRI

STUDI KENAIKAN PANGKAT DI TUBUH POLRI PERIHAL LULUSAN AKPOL TAHUN 1991 & 2002 BERSAMAAN NAIK KE BINTANG SATU PADA OKTOBER 2025 SUATU KEWAJARAN ATAU TIDAK WAJAR

Avatar photo
106
×

STUDI KENAIKAN PANGKAT DI TUBUH POLRI PERIHAL LULUSAN AKPOL TAHUN 1991 & 2002 BERSAMAAN NAIK KE BINTANG SATU PADA OKTOBER 2025 SUATU KEWAJARAN ATAU TIDAK WAJAR

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Penulis: Pdt. Dr. Hasiholan Sihaloho, M.Th., SH., MH,

Ketum: Teologi Mandiri Indonesia

Example 300x600

Abstrak.

 

Penelitian ini menganalisis fenomena kenaikan pangkat bersamaan antara
lulusan Akademi Kepolisian (AKPOL) tahun 1991 dan 2002 yang samasama memperoleh pangkat Brigadir Jenderal pada Oktober 2025.

Fenomena tersebut menimbulkan perdebatan publik mengenai kewajaran
promosi lintas angkatan dalam tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Penelitian ini menggunakan metode hukum normatifempiris dengan pendekatan socio-legal, mengkaji kesesuaian antara norma hukum (Perkap No. 3 Tahun 2016, Perkap No. 5 Tahun 2017, dan Perpol No. 11 Tahun 2018) dengan praktik aktual promosi perwira tinggi Polri.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan pangkat tidak hanya
bergantung pada senioritas angkatan, tetapi juga pada jabatan yang
diduduki, masa dinas, kualifikasi pendidikan, integritas, serta kebutuhan
organisasi yang dinilai melalui Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi
(Wanjakti).

Oleh karena itu, promosi bersamaan antara AKPOL 1991 dan 2002 dapat dinilai wajar sepanjang memenuhi prinsip meritokrasi dan prosedur formal yang berlaku. Penelitian ini merekomendasikan penguatan transparansi kriteria promosi, audit internal terhadap proses promotion-by-position, serta pelibatan Kompolnas sebagai pengawas eksternal untuk menjaga akuntabilitas dan kepercayaan publik terhadap sistem karier Polri.
Kata Kunci: Kenaikan Pangkat, Polri, Merit System, Wanjakti, AKPOL.

Pendahuluan, Berangkat dari dinamika mutakhir di tubuh Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Polri), isu kenaikan pangkat perwira tinggi kembali menjadi sorotan publik. Pada 6 Oktober 2025, Kapolri menaikkan pangkat 27 perwira tinggi (Pati) dalam upacara di Rupatama Mabes Polri, empat menjadi Komisaris Jenderal, delapan menjadi Inspektur Jenderal, dan 15 “pecah bintang” menjadi Brigadir Jenderal (bintang satu) (MetroTVNews, 2025; Humas Polri, 2025).

Di antara 15 Brigjen baru itu, pemberitaan menyebutkan komposisi yang relatif menonjol dari alumni Akademi Kepolisian (AKPOL) 1991, sekaligus hadirnya perwira termuda dari

AKPOL 2002 yang juga naik ke Brigjen pada momen yang sama (Pejabat Publik, 2025a; Kumparan, 2025; Liputan6, 2025). Fenomena “angkatan 1991 dan 2002 sama-sama naik ke bintang satu pada Oktober 2025” memantik pertanyaan akademik: apakah pola ini wajar menurut norma kepangkatan Polri atau justru mengindikasikan anomali dalam
praktik promosi Pati?

Secara normatif, administrasi kepangkatan Polri diatur dalam
Perkap No. 3 Tahun 2016 tentang Administrasi Kepangkatan, yang
kemudian diubah melalui Perkap No. 5 Tahun 2017 dan diperbarui dengan Perpol No. 11 Tahun 2018.

Regulasi ini menekankan prasyarat masa dinas (MDP/MDDP), pendidikan, jabatan yang diduduki, serta ketentuan khusus untuk kenaikan pangkat reguler maupun karena jabatan (struktur/fungsional eselon I) (Perkap 3/2016; Perkap 5/2017; Perpol 11/2018).

Dengan kata lain, senioritas angkatan bukan satu-satunya variabel; kombinasi merit, rekam jejak, dan kebutuhan organisasi menjadi determinan penting. Karena itu, kehadiran Brigjen dari dua angkatan yang selisihnya satu dekade pada saat yang sama patut dikaji: apakah seluruh prasyarat objektif terpenuhi, dan apakah promosi tersebut merefleksikan
prinsip meritokrasi serta kebutuhan penugasan strategis Polri?

Dari aspek tata kelola, Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi
(Wanjakti) merupakan forum institusional yang menilai dan merekomendasikan promosi/mutasi Pati sebelum keputusan pimpinan ditetapkan.

Polri secara berulang menegaskan bahwa promosi jabatan dan kepangkatan dilakukan melalui mekanisme Wanjakti dengan mempertimbangkan rekam jejak, prestasi, dan kebutuhan organisasi
(Okezone, 2019; ANTARA, 2019). Literatur kebijakan dan analisis kebaruan juga menunjukkan bahwa proses Wanjakti idealnya menjadi saringan merit-based sebelum keputusan final, sehingga konsistensi implementasi Wanjakti penting bagi akuntabilitas publik (Tirto, 2025).

Dalam konteks Oktober 2025, penjelasan resmi humas Polri menyebut
kenaikan pangkat merupakan bentuk penghargaan institusional atas
dedikasi dan integritas personel (Liputan6, 2025). Namun, justru karena keputusan-keputusan ini berdampak pada persepsi keadilan internal dan
kepercayaan publik, penelaahan kritis berbasis regulasi dan data karier
menjadi relevan.

Di sisi lain, penelitian mengenai meritokrasi dalam lingkungan Polri
dan sektor keamanan menegaskan bahwa penguatan merit system,
termasuk melalui assessment center, indikator kinerja, dan rekam jejak
integritas, merupakan prasyarat peningkatan profesionalisme serta
pemulihan kepercayaan publik pasca berbagai krisis (Meutia, 2019;
Assidiqie, 2025; DCAF, 2009/2010; Maulitya, 2024).

Sejumlah kajian terbaru menunjukkan implementasi assessment center dan merit system masih menghadapi tantangan seperti keterbatasan asesor, biaya, dan resistensi internal, sehingga hasil akhirnya kerap dipersepsikan belum epenuhnya menentukan penempatan (Assidiqie, 2025; Meutia, 2019).

Dengan demikian, studi atas promosi Oktober 2025, khususnya konvergensi alumni AKPOL 1991 dan 2002 pada pangkat Brigjen, memberikan laboratorium kasus untuk menilai apakah meritokrasi benarbenar bekerja atau masih ada ruang perbaikan tata kelola karier perwira.

Secara empirik, pemberitaan menyebut daftar 15 Kombes yang “pecah bintang” termasuk Brigjen Ahrie Sonta (AKPOL 2002), disebut sebagai salah satu jenderal termuda, serta beberapa nama Brigjen dari AKPOL 1991 yang “terbanyak” dalam kloter tersebut (PejabatPublik, 2025b; PejabatPublik, 2025a; Kumparan, 2025). Fakta ini memunculkan dua hipotesis penggerak: (1) kebutuhan organisasi dan jabatan strategis tertentu (misalnya penugasan operasional/intelijen/propam/pendidikan) yang menuntut percepatan promosi; atau (2) faktor kebijakan yang menyeimbangkan antara senioritas dengan fast-track talent berdasarkan
kinerja khusus.

Pengujian hipotesis ini harus dikaitkan dengan ketentuan jabatan definitif eselon dan prasyarat MDP/MDDP dalam peraturan internal (Perkap 5/2017) serta jejak jabatan perwira yang bersangkutan.

Dari perspektif kebijakan publik, keadilan prosedural (procedural justice) dalam promosi Pati Polri memiliki implikasi luas: ia mempengaruhi moral dan kohesi internal korps, stabilitas suksesi kepemimpinan, dan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.

Ketika promosi melibatkan lintas-angkatan dengan selisih usia/dikbang yang signifikan, persepsi fairness akan sangat dipengaruhi oleh transparansi kriteria, konsistensi penerapan aturan, dan komunikasi resmi kepada publik,
apakah promosi didasarkan pada jabatan definitif, kebutuhan strategis, atau prestasi luar biasa.

Basis regulatif (Perkap/Perpol) memberi kerangka, Wanjakti memberi proses, dan akuntabilitas publik menuntut bukti alasan kebijakan yang terkomunikasikan dengan baik (Perkap 3/2016; Perkap 5/2017; Perpol 11/2018; Okezone, 2019).

Rumusan Masalah

1. Mengapa Akpol Lulusan 1991 dan Lulusan Akpol 2002 naik
pangkat ke Bintang satu bisa bersamaan?

2. Bagaimana Syarat kenaikan Pangkat di tubuh Polri?

3. Apa Solusi untuk menyelesaikan Kesenjangan Lulusan perihal
Kenaikan Pangkat Tersebut?

METODE PENELITIAN

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif-empiris.
Secara normatif, penelitian menelaah aturan perundang-undangan, asas,
dan doktrin yang mengatur administrasi kepangkatan Polri, prosedur
promosi Pati, serta prinsip meritokrasi dalam manajemen talenta.

Secara empiris, penelitian menilai fakta sosial-kelembagaan (proses Wanjakti,
pola karier, komunikasi kebijakan, dan persepsi fairness) melalui data
lapangan, wawancara, observasi dokumen jabatan, dan penelusuran
arsip/putusan administrasi untuk menguji kecocokan “das sollen” dengan
“das sein.”

Pendekatan ganda ini sejalan dengan tradisi socio-legal yang
mengkaji hukum “in books” sekaligus “in action” (Soekanto & Mamudji,
2015; Marzuki, 2017; Ibrahim, 2013).

a. Bahan Hukum (Normatif) (Soekanto & Mamudji, 2015; Marzuki,2017; Ibrahim, 2013):

1) Bahan hukum primer UUD 1945 (ketentuan relevan); UU Kepolisian; Peraturan Kapolri/Perpol tentang administrasi kepangkatan dan promosi
jabatan; keputusan/penetapan kepangkatan; pedoman Wanjakti;
dokumen resmi Humas Polri.

2) Bahan hukum sekunder
Buku ajar/metodologi hukum, monograf manajemen SDM kepolisian, artikel jurnal tentang merit system/assessment
center, komentar ahli, naskah akademik.

3) Bahan hukum tersier
Kamus hukum, ensiklopedia, indeks peraturan.

b.Sumber Data (Empiris) (Sunggono, 2014; Z. Ali, 2014):

Data sekunder, Laporan kinerja, siaran pers, arsip organisasi, publikasi resmi
lembaga negara, serta peliputan media arus utama yang memuat
data faktual promosi.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

a. Studi Kepustakaan (library research)
Inventarisasi dan penelusuran regulasi, doktrin, serta literatur akademik guna menyusun konstruksi norma (Soekanto & Mamudji, 2015; Marzuki, 2017).

b. Analisis Dokumen (documentary study).

Pengumpulan dan pencatatan dokumen promosi, struktur jabatan,
dan rekam administratif untuk menguji kesesuaian syarat formilmateriel dengan ketentuan (Ibrahim, 2013).

Pembahasan

1. Analisa Akpol Lulusan 1991 dan Lulusan Akpol 2002 naik pangkat ke Bintang satu bisa bersamaan.
Kerangka normatif Polri (Perkap 3/2016 yang diubah Perkap 5/2017 dan Perpol 11/2018) menegaskan bahwa promosi kepangkatan mempertimbangkan persyaratan umum/khusus, masa dinas, pendidikan, jabatan yang diduduki, dan kebutuhan organisasi, bukan sekadar
senioritas angkatan (Perkap 3/2016; Perkap 5/2017; Perpol 11/2018).

Artinya, ketika ada jabatan strategis yang mensyaratkan pangkat Brigjen
dan kandidat memenuhi prasyarat, promosi dapat diproses meski berasal
dari angkatan yang berbeda jauh.

Dengan demikian, konvergensi lintasangkatan, seperti AKPOL 1991 (lebih senior) dan AKPOL 2002 (lebih yunior) menjadi wajar secara normatif ketika parameter jabatan dan merit terpenuhi (Perkap 3/2016; Perkap 5/2017; Perpol 11/2018). (Kepolisian
Negara RI, 2016; Kepolisian Negara RI, 2017; Kepolisian Negara RI,
2018).

Secara kelembagaan, Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi
(Wanjakti) mengevaluasi rekam jejak dan kebutuhan organisasi sebelum promosi/rotasi Pati diputuskan pimpinan. Polri berulang kali menegaskan ke publik bahwa mutasi/promosi melalui mekanisme Wanjakti dengan pertimbangan kinerja dan kebutuhan organisasi (misalnya penjelasan 2019 yang sering dirujuk ketika isu “kelompok” atau senioritas muncul)
(Okezone, 2019; ANTARA, 2019).

Ini menjelaskan mengapa promosi tidak
linear dengan angkatan: apabila seorang Kombes dari AKPOL 2002 memegang jabatan strategis yang dipetakan Wanjakti setara prasyarat Brigjen, ia bisa “pecah bintang” pada saat yang sama ketika rekan dari AKPOL 1991 juga promosi berdasarkan jabatannya (Okezone, 2019; ANTARA, 2019).

Data per 6-11 Oktober 2025 menunjukkan 27 Pati naik pangkat
(Komjen, Irjen, dan 15 Brigjen). Dari 15 yang “pecah bintang,” media
menyoroti dua hal: (a) alumni AKPOL 1991 muncul relatif dominan pada
klaster Brigjen, dan (b) Brigjen Ahrie Sonta (AKPOL 2002) disebut sebagai
salah satu jenderal termuda yang ikut naik bintang dalam batch yang
sama (Humas Polri, 2025; PejabatPublik, 2025a; PejabatPublik, 2025b;
Liputan6, 2025). Pola ini konsisten dengan logika “promosi per kluster jabatan”:

Ketika sejumlah jabatan definitif telah terisi/dirotasi dan mensyaratkan Brigjen, maka beberapa nama lintas angkatan dapat diproses dalam upacara yang sama, bukan karena penyamaan senioritas, melainkan sinkronisasi kalender promosi dan kebutuhan organisasi (Humas Polri, 2025; PejabatPublik, 2025a; PejabatPublik, 2025b).

Peraturan administrasi kepangkatan membuka ruang kenaikan
pangkat karena jabatan (selain reguler karena masa dinas), dengan syarat
jabatan struktural/fungsional tertentu telah diduduki dan indikator
kinerja/integritas terpenuhi. Dalam praktik, pejabat yang di-assign pada
posisi strategis wajib menyandang pangkat tertentu agar selaras dengan
hierarki dan kewenangan, sehingga promosi dapat lebih cepat jika
penugasan datang lebih cepat pula.

Hal ini menerangkan mengapa
lulusan 2002 dapat bersamaan naik dengan lulusan 1991: posisi yang
ditingkati memicu promosi, bukan semata urutan angkatan (Kepolisian
Negara RI, 2016; Kepolisian Negara RI, 2017; Kepolisian Negara RI, 2018;
ringkasan prosedur administratif).

Promosi Pati sering dilakukan dalam batch mengikuti siklus lowongan jabatan, hasil evaluasi Wanjakti, serta penataan ulang organisasi (misalnya setelah mutasi besar, pembentukan/penataan fungsi, atau persiapan agenda nasional). Ketika beberapa kursi Brigjen terbuka
sekaligus, kandidat lintas angkatan yang memenuhi prasyarat dapat naik
bersamaan dalam satu rangkaian keputusan.

Data Oktober 2025 memperlihatkan kombinasi promosi ke Komjen, Irjen, dan Brigjen pada waktu yang berdekatan, menandakan penataan simultan (Humas Polri, 2025; Pejabat Publik, 2025a).

Literatur manajemen SDM kepolisian dan security sector reform menekankan pentingnya assessment center, indikator kinerja, dan rekam integritas sebagai basis promosi, untuk menopang profesionalisme dan kepercayaan publik (Meutia, 2019; DCAF, 2009/2010).

Meski implementasinya tidak tanpa tantangan, arah kebijakan ini memberi justifikasi substantif bahwa fast-track bisa terjadi ketika indikator merit terpenuhi, sehingga perbedaan angkatan tidak otomatis memblokir atau memaksa antrean (Meutia, 2019; DCAF, 2009/2010).

Pada kasus Oktober 2025, keberadaan figur termuda dari AKPOL 2002 yang “pecah bintang” berdampingan dengan dominasi AKPOL 1991 dapat dibaca sebagai konsekuensi merit-cum-position, bukti bahwa penugasan dan kinerja
menjadi penentu (Liputan6, 2025; PejabatPublik, 2025b).

Promosi bersamaan AKPOL 1991 dan AKPOL 2002 ke Brigjen pada Oktober 2025 dapat dinilai wajar sepanjang: (i) memenuhi prasyarat normatif (Perkap/Perpol), (ii) melalui mekanisme Wanjakti yang menilai kebutuhan jabatan dan rekam kinerja, serta (iii) terjadi dalam siklus penataan jabatan yang membuka kursi Brigjen secara simultan.

Bukti peristiwa Oktober 2025 menunjukkan dominasi AKPOL 1991 pada batch Brigjen sekaligus hadirnya figur termuda dari AKPOL 2002, sesuai pola promotion-by-position dan merit system yang memungkinkan konvergensi lintas angkatan dalam satu upacara/promosi. (Kepolisian Negara RI, 2016, 2017, 2018; Humas Polri, 2025; PejabatPublik, 2025a, 2025b; Liputan6,
2025).

2. Syarat Kenaikan Pangkat Di Tubuh Polri.

Secara normatif, administrasi kepangkatan Polri diatur terutama
oleh Perkap No. 3 Tahun 2016 tentang Administrasi Kepangkatan
Anggota Polri dan perubahannya (Perkap No. 5 Tahun 2017; Perpol No.
11 Tahun 2018).

Regulasi ini menegaskan bahwa pemberian dan kenaikan pangkat
mencerminkan peran, fungsi, kemampuan, serta legitimasi kewenangan dalam penugasan, sejalan dengan UU No. 2 Tahun 2002 (Kepolisian
Negara RI, 2002; 2016; 2017; 2018).

Secara tipologi, jenis kenaikan pangkat meliputi: reguler, pengabdian, luar biasa, dan anumerta. Kenaikan pangkat reguler
umumnya diproses berkala (periode 1 Januari dan 1 Juli), dengan pengecualian pada kenaikan ke/dalam golongan Perwira Tinggi (Pati) yang mengikuti kebutuhan jabatan dan kebijakan organisasi (Kepolisian Negara RI, 2016; Polres Kudus, 2023).

Syarat Pokok Kenaikan Pangkat (Lintas Golongan) Meskipun rinciannya berbeda menurut golongan (Tamtama, Bintara, Perwira Pertama-Menengah-Tinggi), substansi syarat pokok yang berulang dalam Perkap/Perpol adalah:

(a). Masa dinas dalam pangkat (MDP) dan/atau masa kerja tertentu
dipenuhi sesuai jenjang (threshold waktu yang ditetapkan lampiran
Perkap);

(b) Kualifikasi pendidikan/dikbang (pendidikan pengembangan) yang
dipersyaratkan untuk pangkat/jabatan yang dituju (misalnya kewajiban mengikuti/kualifikasi Dikbangum tertentu; terdapat ketentuan khusus bagi perwira yang sedang mengikuti pendidikan ≥1 tahun) (Kepolisian Negara RI, 2016, Pasal 18);

(c) Jabatan yang diduduki/penugasan selaras dengan pangkat yang
dipersyaratkan (promotion by position) atau memenuhi pola karier
yang berlaku;

(d) Rekam kinerja dan integritas yang memadai (penilaian berkala,
bebas dari hukuman disiplin/etik tertentu sesuai horizon waktu yang
ditentukan);

(e) Kesehatan jasmani-rohani dan psikologi yang memenuhi standar;

(f) Ketentuan administratif lainnya (kelengkapan berkas, rekomendasi
atasan, dan pemeriksaan administrasi oleh lini pembinaan), (Kepolisian Negara RI, 2016; 2017; 2018).

Spesifik pada Perwira Tinggi (Pati).

Untuk kenaikan pangkat Pati (Brigjen s.d. Jenderal), terdapat karakteristik tambahan:

a. Tidak terikat sepenuhnya pada kalender 1 Januari/1 Juli; promosi
Pati sinkron dengan penetapan/rotasi jabatan eselon I dan hasil
evaluasi Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti)
(Kepolisian Negara RI, 2016; 2017; 2018)

b. “Kenaikan karena jabatan” (promotion by position) berlaku: ketika
seorang perwira menduduki jabatan yang mensyaratkan pangkat tertentu, maka promosi dapat diproses jika seluruh prasyarat
normatif–administratif terpenuhi (Kepolisian Negara RI, 2016; 2017;
2018).

c. Seleksi/pertimbangan dilakukan melalui Wanjakti dengan menilai
rekam jejak, kinerja, dan kebutuhan organisasi sebelum keputusan
ditetapkan pimpinan; pola ini juga dikonfirmasi dalam komunikasi
resmi Polri ke publik (Polres Kudus, 2023).

Diferensiasi Menurut Jenis Kenaikan Pangkat;

a. Reguler
Diberikan setelah MDP dan kualifikasi pendidikan dipenuhi, kinerja
memadai, serta bebas dari sanksi dalam periode acuan.

b. Pengabdian
Diberikan menjelang purna tugas bagi anggota yang memenuhi
syarat layanan/jasa tertentu.

c. Luar biasa
Diberikan atas prestasi khusus/jasa luar biasa dengan persyaratan
komplementer sebagaimana ditetapkan.

d. Anumerta
Diberikan kepada anggota yang gugur dalam tugas (ketentuan
bersyarat) (Kepolisian Negara RI, 2016; Polres Kudus, 2023).
Prinsip Sinkronisasi Norma-Kebutuhan Organisasi.

Regulasi pasca-2016 (Perkap 3/2016 dan amandemennya) secara eksplisit menegaskan penyelarasan administrasi kepangkatan dengan kebutuhan organisasi, pembinaan karier, dan keterbatasan horizon pengabdian (antara lain perubahan pasal terkait persyaratan/penyisipan ketentuan pada Perkap 5/2017).

Dengan demikian, senioritas angkatan bukan satu-satunya variabel; promosi ditentukan kombinasi: pemenuhan syarat normatif, jabatan definitif, dan hasil penilaian kelembagaan
(Kepolisian Negara RI, 2017; 2018).

Syarat kenaikan pangkat di Polri menuntut terpenuhinya MDP, kualifikasi pendidikan/dikbang, kesesuaian jabatan, rekam kinerja–integritas, serta kesehatan; untuk Pati, promosi lebih ditentukan oleh
jabatan dan hasil evaluasi Wanjakti, sehingga dapat berlangsung di luar
siklus reguler 1 Januari/1 Juli.

Struktur norma, sebagaimana diatur dalam Perkap 3/2016, Perkap 5/2017, dan Perpol 11/2018, menempatkan merit
dan kebutuhan organisasi sebagai penentu utama, yang sekaligus menjelaskan mengapa promosi lintas-angkatan bisa terjadi dalam satu
batch ketika semua prasyarat terpenuhi.

3. Solusi Kebijakan Untuk Mengurangi “Kesenjangan Lulusan”
(Angkatan) Dalam Kenaikan Pangkat Perwira Tinggi Polri,
Khususnya Saat Promosi Lintas-Angkatan Terjadi Dalam Satu
Batch.

a. Transparansi kriteria dan bobot penilaian (procedural justice).

Publikasikan (paling tidak secara internal) matriks kriteria promosi dan bobotnya, misalnya masa dinas dalam pangkat (MDP), kompetensi jabatan, rekam kinerja, integritas, dan kebutuhan jabatan, beserta ambang batas (threshold) minimal dari Perkap/Perpol. Bukti empiris menunjukkan keadilan prosedural meningkatkan penerimaan keputusan, kepercayaan pada otoritas, dan perilaku kooperatif (Colquitt et al., 2001; 2013).

Dengan demikian, penjelasan terbuka mengapa kandidat dari angkatan berbeda (1991 vs 2002) dapat “pecah bintang” serentak akan menurunkan persepsi “privilege angkatan” dan noise spekulatif (Kepolisian Negara RI, 2016, 2017, 2018).

b. Standardisasi kamus kompetensi Pati dan penguatan assessment center.

Tetapkan kamus kompetensi Pati (mis. kepemimpinan strategis, pengambilan keputusan, pengaruh, perencanaan-organisasi, problem solving) dan evaluasi kandidat melalui assessment center yang tervalidasi.

Meta-analisis menunjukkan validitas kriteria assessment center yang solid (sekitar r ≈ .25–.39) pada dimensi
kepemimpinan kunci (Arthur et al., 2003; Meriac et al., 2008/2014), dan studi di lingkungan Polri menekankan pentingnya pusat asesmen berbasis merit system (Meutia, 2019). Standardisasi ini mencegah “fast-track” yang tidak berbasis kompetensi dan
mengurangi selisih persepsi antar angkatan.

c. Promotion-by-position yang dapat diaudit: koridor “time-in-rank” &
pengecualian terdokumentasi
Regulasi kepangkatan Polri memang membuka ruang kenaikan karena jabatan di samping kenaikan reguler (Perkap 3/2016; Perkap 5/2017; Perpol 11/2018). Untuk menghindari bias angkatan, tetapkan koridor waktu (mis. MDP minimal + catatan pencapaian)
dan formulir pengecualian yang wajib diisi ketika promosi dipercepat
karena jabatan. Audit internal pasca promosi memastikan pengecualian konsisten dengan rule dan kebutuhan
organisasi, sehingga promosi lintas-angkatan tetap terukur dan akuntabel.

d. Memperkuat tata kelola Wanjakti dan keterlibatan pengawas eksternal.

Perkuat akuntabilitas Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi
(Wanjakti) dengan: (1) minutes keputusan yang terdokumentasi; (2)
indikator evaluasi (kinerja, integritas, kebutuhan organisasi) yang seragam; dan (3) keterlibatan pengawas eksternal sebagai observer, misalnya Kompolnas sesuai Perpres 17/2011, setidaknya pada tahap verifikasi data dan mekanisme keluhan publik (tanpa
mengintervensi kewenangan pimpinan) (Perpres 17/2011; Okezone, 2019; Tempo, 2019; Dharma, 2023). Langkah ini selaras dengan prinsip security sector governance/reform (SSG/SSR) yang
menekankan transparansi dan akuntabilitas proses personel (DCAF,
2009/2010; 2022).

e. Pemerataan akses Dikbang dan pipeline suksesi lintas angkatan
Kurangi “opportunity gap” antar angkatan dengan kuota proporsional dan peta suksesi untuk Dikbang strategis (mis. executive education, strategic command course). Publikasikan daftar tunggu dan kriteria seleksi Dikbang agar akses setara (level playing field) terjaga.

Hal ini mengurangi dampak “angkatan
beruntung” dan menjamin talent pool Pati yang berkelanjutan (Kepolisian Negara RI, 2016; 2017).

f. Post-hoc review dan umpan balik terstruktur untuk kandidat yang
belum terpilih.

Sediakan post-hoc review bagi kandidat yang belum promosi: ringkasan skor vs benchmark serta rekomendasi pengembangan individual (pelatihan, rotasi jabatan).

Riset keadilan organisasi menunjukkan umpan balik informasional menurunkan persepsi ketidakadilan dan meningkatkan komitmen (Colquitt et al., 2001; 2013).

g. Integrity gating: cooling-off, benturan kepentingan, dan verifikasi
etik.

Tambahkan mekanisme cooling-off dan recusal pada anggota Wanjakti bila ada potensi benturan kepentingan (mis. hubungan hierarkis langsung, satu alma mater cohort aktif, atau hubungan
keluarga).

Sertakan cek etik dan status disiplin sebagai gerbang keras (hard gate). Praktik ini sejalan dengan kaidah good
governance sektor keamanan untuk menjaga legitimasi promosi
(DCAF, 2022).

h. Kanal keluhan publik dan whistle blowing yang responsif.

Optimalkan kanal keluhan/aduan di Kompolnas (fungsi pengawasan fungsional) dan kanal internal Polri; rilis laporan tahunan tentang pola promosi (agregat, anonim). Penguatan kanal
pengaduan memperbaiki akuntabilitas horizontal dan mencegah delegitimasi karena isu “kelompok/geng” (Perpres 17/2011; Hukumonline, 2011).

i. Strategi komunikasi publik berbasis data.

Sampaikan narasi kebijakan setiap batch promosi (mis. ringkasan komposisi kompetensi, jenis jabatan yang diisi, dan proporsi jalur reguler vs jabatan) agar publik memahami rasional kebijakan,
termasuk mengapa ada figur yunior (mis. AKPOL 2002) yang layak dipercepat bersamaan dengan senior (AKPOL 1991). Penegasan mekanisme Wanjakti dan alasan job-fit telah beberapa kali
disampaikan Polri saat merespons isu “geng” di media (Okezone, 2019; Tempo, 2019).

Kesimpulan dan Saran.

1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya,
maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Berdasarkan Perkap No. 3 Tahun 2016 beserta perubahannya, sistem kepangkatan Polri menekankan keseimbangan antara masa dinas, jabatan yang diduduki, kompetensi, dan rekam integritas.

Oleh karena itu, promosi lintas-angkatan seperti AKPOL 1991 dan 2002 pada Oktober 2025 secara normatif dapat dianggap wajar apabila seluruh syarat administratif dan substantif terpenuhi melalui mekanisme Wanjakti.

2. Perbedaan angkatan yang naik pangkat bersamaan sering kali
menimbulkan persepsi ketidakadilan apabila kriteria promosi tidak
disosialisasikan secara terbuka. Oleh karena itu, transparansi prosedural, audit promosi berbasis jabatan, serta pemerataan akses Dikbang dan jalur karier menjadi kunci untuk menghilangkan kesan privilege angkatan tertentu dan menjaga keadilan organisasional.

3. Untuk menjamin legitimasi promosi dan kepercayaan publik, Polri
perlu memperkuat assessment center, melakukan post-hoc review
terhadap hasil promosi, dan melibatkan pengawasan fungsional
Kompolnas sesuai prinsip security sector governance.

Reformasi ini memperkuat profesionalisme serta memastikan bahwa promosi jabatan di lingkungan Polri benar-benar mencerminkan prinsip merit system dan akuntabilitas publik.

2. Saran Penelitian.

a. Untuk Institusi Polri.

Sebaiknya Polri memperkuat penerapan merit system dalam setiap
tahapan promosi kepangkatan melalui penggunaan indikator kinerja
dan integritas yang terukur, serta memastikan hasil penilaian
Wanjakti terdokumentasi dan dapat diaudit.

b. Untuk Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Disarankan agar Kompolnas meningkatkan fungsi pengawasan
eksternal terhadap proses promosi dan kenaikan pangkat perwira
tinggi, termasuk dengan membuka kanal pelaporan publik yang
lebih transparan dan mudah diakses.

c. Untuk Kementerian PAN-RB.

Direkomendasikan agar Kementerian PAN-RB memperkuat regulasi dan evaluasi sistem merit di tubuh Polri sebagai bagian dari reformasi birokrasi nasional, guna memastikan promosi jabatan berbasis kinerja dan kompetensi.

d. Untuk Peneliti Akademik di Bidang Hukum dan Kebijakan Publik.

Sebaiknya penelitian selanjutnya memperluas kajian dengan pendekatan komparatif antara sistem promosi di Polri dan lembaga penegak hukum lain, agar dapat ditemukan model ideal promosi berbasis meritokrasi yang adaptif terhadap budaya organisasi.

e. Untuk Masyarakat dan Media
Disarankan agar masyarakat dan media berperan aktif sebagai pengawas sosial (social control) dengan memahami dasar hukum dan prosedur promosi kepangkatan, sehingga opini publik yang
terbentuk lebih objektif dan berbasis data. (Chris)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *